Senin, 19 September 2016

he is really great inspiration.

https://www.youtube.com/watch?v=LpHcLyk42LQ

Rabu, 20 Juli 2016

Langkah Kecil Untuk Eksistensi Bahasaku



“Manusia tidak bisa hidup tanpa bahasa”. Mungkin pendapat ini benar adanya karena pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia. Secara umum, bahasa merupakan kemampuan bertutur untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Kemampuan tersebut memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk mengutarakan isi hatinya, merefleksikan perasaannya, menyalurkan ego, bertukar informasi serta dapat sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan adanya bahasa, manusia juga dapat berkreasi dan menunjukkan kreativitas dalam mengisi kehidupannya. Terlebih di era globalisasi saat ini, kecakapan dalam berbahasa menjadi sangat penting. Dengan demikian, sebagai generasi muda sudah selayaknya kita cakap dalam berbahasa.
Terkait dengan kecakapan berbahasa, di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa dari Sabang hingga Merauke. Berbagai ragam bahasa daerah merupakan suatu kekayaan yang sangat berharga sebagai bangsa, maka dari itu cakap dalam menggunakan bahasa daerah merupakan suatu kewajiban sebagi generasi muda. Cakap dalam menggunakan bahasa daerah tercermin dalam bagaimana bahasa itu tetap eksis di masyarakat.
Seperti halnya di Bali, terdapat bahasa daerah yang sudah di akui keberadaannya secara nasional yaitu bahasa Bali. Secara umum banyak hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga eksistensi bahasa Bali, seperti memaksukkannya sebagai mata pelajaran muatan local wajib di setiap jenjang pendidikan, mengadakan event-event kebudayaan  yang memprioritaskan penggunaan bahasa Bali atau yang lebih muktahir lagi yaitu pembuatan aplikasi sastra dan aksara Bali yang dapat diakses online. Namun, dengan berbagai upaya yang sudah dilaksanakan, eksistensi bahasa Bali kian menyurut karena pengguna bahasanya merasa kurang bergengsi menggunakan bahasa Bali. Fenomena tersebut dapat diobservasi dalam aktivitas generasi muda Bali yang menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan. Bukan hanya di perkotaan, pergeseran penggunaan bahasa ini sudah menjalar hingga pedesaan. Fenomena ini akan menjadi bom waktu bagi bahasa daerah, terutama bahasa Bali jika penuturnya tidak lagi memilih untuk menggunakan bahasanya. Sebagai generasi muda sudah selayaknya kita mengambil langkah terdepan dalam mencegah hilangnya bahasa daerah kita. Sebagai langkah termudah, yaitu menggunakan bahasa tersebut dalam keluarga, karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat yang dapat kita gunakan untuk mengeksplorasi lebih jauh. Pemanfaatan teknologi juga bisa menjadi solusi yang baik, apa yang sudah ditemukan kita gencarkan lagi penggunaannya. Promosi yang tepat dan penggunaan aplikasi berbahasa daerah yang menyentuh kehidupan sehari-hari dapat menjadi langkah efektif.
Berkaitan dengan bahasa daerah bahasa berikutnya yang wajib untuk dikuasai yaitu bahasa Indonesia. Sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa nasional, Bahasa Indonesia memiliki peranan penting dalam setiap sendi kehidupan warga negara. Generasi muda selayaknya memahami dan dpat mengimplementasikan bahasa Indonesia dengan baik. Penggunaan bahasa yang tepat guna dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Terkait dengan hal itu, dalam dasawarsa terakhir ini banyak hal yang sudah dilakukan untuk meningkatkat kualitas penggunaan bahasa Indonesia. Seperti halnya berbagai event apresiasi sastra baik tingkat regional maupun nasional, berbagai perlombaan esai, cerpen, dongeng maupun puisi. Dismaping itu, adapun langkah revolusioner yang dilakukan untuk menjaga keberadaan bahasa Indonesia yaitu, diwajibkannya tenaga kerja asing maupun lokal untuk menguasai bahasa Indonesia terlebih dahulu sebelum mencari kerja di wilayah Indonesia. Dengan berbagai uapaya yang dilakukan pemerintah, tentunya hal tersebut tidaklah berjalan sesuai apa yang diinginkan apabila tidak mendapat dukungan dari pengguna bahasanya. Sebagai generasi muda, hal kecil namun bermanfaat sangat besar yang dapat kita lakukan ialah dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Penggunaan yang baik dan benar merupakan suatu penghargaan bagi bahasa nasional kita. Bangga menggunkan bahasa Indonesia juga dapat ditunjukkan dengan kreativitas sebagai generasi muda dalam berkarya, baik itu artikel, jurnal, cerita pendek, pengalaman pribadi yang diunggah ke media sosial maupun tautan blog. Dengan demikian setiap individu dapat berkontribusi dalam menjaga eksistensi bahasa Indonesia.
Kecakapan berbahasa berikutnya ialah menguasai bahasa asing. Kecakapan berbahasa asing sangat diperlukan dengan semakin berkembangnya teknologi-informasi yang mendunia. Dengan terampil berbahasa asing setiap individu dapat mengembangkan diri dan mudah mengakses berbagai perkembangan pengetahuan di selurh penjuru dunia. Penguasaan bahasa asing juga mempermudah kita untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam belajar maupun peluang kerja. Akan tetapi dengan semakin berkembangnya bahasa asing di Indonesia, generasi muda yang seharusnya dapat memfilterisasi, malah menjadi kebablasan. Generasi muda seakan menjadikan bahasa ibu dan bahasa nasional sebagi bahasa ke dua. Hal ini tentunya sangat berdampak negatif terhadap keberadaan kedua bahasa itu sendiri.  Namun, nasi belum menjadi bubur, masih ada kesempatan kita sebagai generasi muda untuk mencegah hal ini. Pentingnya kecakapan berbahasa asing tentunya kita gunakan secara bijak, bahkan dapat mendukung eksistensi bahasa ibu dan bahasa nasional. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan bagaimana kita memprioritaskan bahasa ibu maupun nasional kita dalam kehidupan sehari-hari. Berkiblat ke negara Thailand yang mampu untuk menjaga phasa Thai di tengah gerusan bahasa asing lainnya, hal yang dapat ditiru ialah kecintaan warganya untuk selalu menggunakan bahasanya. Maka dari itu, bagaimana kita sebagai generasi muda dapat menciptakan atmosfer kecintaan akan bahasa ibu dan bahasa nasional kita ditengah gerusan bahasa lainnya.

Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan yaitu bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk cakap dalam berbahasa, karena dengan kecakapan tersebut manusia mendapatkan berbagai faedah. Sepertihalnya di Indonesia, terdapat berbagai ragam bahasa yang menjadi icon bangsa. Selain itu terdapat bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan keberadaan bahasa asing yang merupakan jalan untuk memperluas pengetahuan dan keilmuan. Berbagai macam usaha sudah dilaksanakan untuk menjaga eksistensi keberadaan bahasa ibu dan nasional, namun hal tersebut tidak akan maksimal apabila tidak mendapat dukungan dari pengguna bahasa itu sendiri. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa ibu semakin menurun akibat bahasa itu tidak bergengsi. Hal tersebut juga berdampak terhadap bahasa Indonesia. Penghargaan terdapat bahasa Indonesia semakin menurun akibat arus modernisasi. Akan tetapi nasi belum menjadi bubur, masih ada jalan kita sebagai generasi muda untuk mencegah hal tersebut semakin memburuk. Dimulai dari hal kecil dengan menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa ibu dan nasoinal, menggunakannya dengan baik dan benar serta mengaplikasikannya dalam perkembangan teknologi dan informasi. Dengan adanya komitmen dan kontinuitas, tentunya akan tercipta atmosfer yang kecintaan dan rasa memiliki bahasa ibu maupun Bahasa Indonesia, namun kita tidak juga apriori dengan penguasaan bahasa asing. Bahkan dengan adanya bahasa asing dapat menjadi khasanah baru dalam pengembangan kebahasaan dan mendukung upaya menjaga eksistensinya. Sepertihalnya negara Thailand yang mampu menjaga eksistensi phasa Thai di tengah kemajuan teknologi dan bahasa asing lainnya. Satu hal yang dapat kita tiru ialah bagaimana kita memiliki rasa kecintaan terhadap bahasa kita sendiri sehingga tumbuh rasa memiliki dan senantiasa tetap menggunakannnya dalam kehidupan sehari-hari.

Selasa, 06 Januari 2015

Jempiring, Maskot Denpasar yang Berkhasiat Mengobati Kencing Manis

Teks dan Foto: I Ketut Jagra

Bagi warga kota Denpasar, bunga jempiring tentu tak asing lagi. Bunga berwarna putih dengan aroma harum ini telah ditetapkan sebagai maskot Kota Denpasar. Istri Walikota Denpasar sebelumnya, Bintang Puspayoga terbilang sangat getol mempromosikan bunga yang di kalangan masyarakat Indonesia dikenal dengan nama kacapiring ini. Istri Walikota Denpasar saat ini, Nyonya Selly D Mantra juga tak kalah gencar mengenalkan jempiring sebagai maskot kotanya. Bunga jempiring diabadikan sebagai nama tari kebesaran Kota Denpasar.

Bagi masyarakat Bali, bunga yang memiliki nama latin Gardenia augusta, Merr. ini memiliki fungsi sebagai bunga upakara seperti lazimnya bunga-bunga berbau harum lainnya. Bunga jempiring biasa digunakan untuk kelengkapan canang sari,pajegan atau pun rangkaian bunga.

Menurut penelitian, bunga jempiring mempunyai senyawa kandungan zat minyak menguap. Minyak menguap tersebut antara lain mengandung unsur linalol dan styrolyl. Umumnya bunga jempiring digunakan untuk membuat minyak wangi.

Jempiring juga merupakan tanaman berkhasiat obat, khususnya bagian daunnya. Sejumlah penyakit seperti diabetes melitus, sariawan, demam dan susah buang air besar bisa diatasi dengan tanaman dari jenis perdu ini.

Untuk obat diabetes melitus (kencing manis) yang dibutuhkan adalah bagian daun jempiring. Ambil sedikitnya 12 lembar daun jempiring, selanjutnya rebus dengan dua gelas air sampai mendidih. Tunggu hingga hanya tersisa segelas saja. Ramuan itu kemudian diminum sekaligus. Lakukan hal ini secara rutin setiap hari.

Sariawan juga bisa disembuhkan dengan memanfaatkan daun jempiring. Ambil sekitar tujuh lembar daun jempiring, dicuci bersih lalu diremas-remas. Tambahkan dengan secangkir air lalu disaring. Selanjutnya dicampur dengan dua sendok makan madu dan sepotong gula aren. Aduk ramuan itu secara merata. Ramuan itulah yang kemudian diminum setiap dua hari sekali.

Cara yang tak sama juga untuk Anda yang sedang mengalami demam. Ambil tujuh lembar daun jempiring dan sepotong gula batu. Daun jempiring yang sudah dicuci bersih itu lalu diremas-remas dengan segelas air. Setelah itu, disaring dan dicampur dengan gula batu. Aduklah ramuan itu sampai merata lalu diminum.

Bagi Anda yang susah buang air besar, juga bisa memanfaatkan jempiring sebagai obat. Yang dibutuhkan adalah sekitar tiga biji buah jempiring. Rebus biji buah itu dengan dua gelas air sampai mendidih. Diamkan hingga tinggal segelas saja. Ramuan ini kemudian diminum.

Tapi, Anda jangan terlalu berlebihan meminum ramuan daun kacapiring karena bisa menyebabkan diare.

Melihat khasiatnya yang demikian banyak, sangat baik untuk menanam jempiring di pekarangan rumah. Tanaman ini mudah tumbuh di sembarang tempat, baik di daerah dingin maupun panas. Akan tetapi, jempiring lebih cocok ditanam di daerah pegunungan atau tempat yang tingginya lebih dari 400 meter di atas permukaan laut.

Perbanyakan jempiring tidaklah terlalu sulit. Cukup dilakukan dengan cara stek.

Sabtu, 12 Juli 2014

Family in Australia

FAMILY STRUCTURE

Families have long been viewed as the core social unit that maintains people's welfare. Over recent decades there have been extensive changes in the way that families are structured and function. Research and policy interest has shifted from maintaining the so-called ideal or traditional family form (a married couple and their children) to improving the quality of relationships between family members, irrespective of form. Some of this change is also reflective of changing demographics - as the population ages and fertility rates have declined over the long term, there are more couple only and lone person households, regardless of social trends. Other changes in family composition represent choices made by family members, including that of achieving better functioning family structures. For many members of the community, new and emerging forms of family structure represent progress in increasing the care, safety and support available to vulnerable Australians. Yet, for those members of the community who hold traditional values, the decline of traditional family structures may be viewed as regress.

In 2006-07, couple families with no children were the most common type of family (40%), followed by couple families with dependent children (37%). This was the reverse of the situation in 1997 where couple families with dependent children were the most common (40%), followed by couple families with no children (35%). The increase in the proportion of couples living without children partly reflects the ageing of the population as baby boomers move into the 'empty nester' phase of their lives.

The proportion of one parent families with dependent children remained steady, at around 10%, between 1997 and 2006-07. Lone parents are more likely to be disadvantaged in a number of areas. They have higher levels of unemployment, in part due to caring responsibilities, and are more likely to experience financial hardship. Their lone adult circumstances also increases the risk of some other forms of disadvantage. For example, in the 2006 General Social Survey, people in one parent families were victims of an assault (25%) or break-in (17%) at rates similar to other lone adult households of comparable age, which is much higher than the rates experienced by people in couple families (10% and 9% respectively). For some, the transition from couple to one parent family can result in improvements to the safety, emotional and financial circumstances of the individuals involved that outweigh other risks.

The ageing of the population, combined with the fact most women tend to marry older men and have longer life expectancies, is reflected in the larger number and proportion of older women living alone, compared with older men. In 2006-07, women aged 65 years and over were more likely than men of the same age to live alone (35% compared with 17%) and women aged 85 years and over were more likely to live alone than men of the same age (50% compared with 22%). The number of people living alone is projected to increase significantly into the future. In 2006, there were 1.9 million people living alone in Australia; by 2031 it is projected that between 3.0 million and 3.6 million people will be living alone (ABS 2010a).

Family in Korea

Filial piety (hyo in Korean; xiao in Chinese), the second of the Five Relationships, defined by Mencius as affection between father and son, traditionally has been the normative foundation of Korean family life. Though its influence has diminished over time, this relationship remains vitally important in contemporary South Korea. Entailing a large number of reciprocal duties and responsibilities between the generations of a single family, it generally has been viewed as an unequal relationship in which the son owed the father unquestioning obedience. Neo-Confucianists thought that the subordination of son to father was the expression, on the human level, of an immutable law of the Cosmos. This law also imposed a rigidity on family life.
Family and lineage continuity traditionally was, and to a great extent remains, a supremely important principle. This reflects Mencius's view that of all possible unfilial acts, to deprive one's parents of posterity is the worst. Historically, the Korean family has been patrilineal. The most important concern for the family group was producing a male heir to carry on the family line and to perform ancestor rituals in the household and at the family gravesite. The first son customarily assumed leadership of the family after his father's death and inherited his father's house and a greater portion of land than his younger brothers. This inheritance enabled him to carry out the ritually prescribed obligations to his ancestors.
Ancestor worship was, simultaneously, a social ethic and a religion. In some ways, it was the most optimistic of faiths. It taught that deceased family members do not pass into oblivion, to an afterlife, or, as the Buddhist believe, to rebirth as humans or animals in some remote place, but remain, in spiritual form, securely within the family circle. For traditionally minded Koreans, the presence of the deceased could be an intensely real and personal one. Fear of death was blunted by the consoling thought at even in the grave one would be cared for by one's own people. Succeeding generations had the obligation of remembering the deceased in a yearly cycle of rituals and ceremonies.
Traditionally, the purpose of marriage was to produce a male heir to carry on the family line and not to provide mutual companionship and support for husband and wife. Marriages were arranged. A go-between or matchmaker, usually a middle-aged woman, carried on the negotiations between the two families involved who, because of a very strict law of exogamy, sometimes did not know each other and often lived in different communities. The bride and groom met for the first time at the marriage ceremony, a practice that ended in the cities by the 1930s.
The traditional Korean kinship system, defined by different obligations in relation to ancestor worship, was complex. Anthropologists generally view it in terms of four separate levels, beginning with the household on the lowest level and reaching to the clan, which included a large number of persons often spread over an extensive geographical area. The household, chip or jip in Korean, consisted of husband and wife, their children, and if the husband were the eldest son, his parents as well. The eldest son's household, the stem family, was known as the "big house" (k'unjip), while that of each of the younger sons, a branch family containing husband, wife and children only, was known as the "little house" (chagunjip). It was through the stem family of the eldest son that the main line of descent was traced from generation to generation. The eldest son was responsible for rituals in honor of the ancestors, and his wife was responsible for producing the all-important male heir.
The second level of kinship was the "mourning group" (tangnae), which consisted of all those descendants of a common patrilineal forbearer up to four generations back. Its role was to organize ceremonies at the grave site. These rites included the reading of a formal message by the eldest male descendant of the tangnae progenitor and the offering of elaborate and attractive dishes to the ancestral spirits.
Similar rituals were carried out at the third level of kinship organization, the lineage (p'a). A lineage might comprise only a handful of households, but in some cases included hundreds and even thousands of households. The lineage was responsible for the rites to ancestors of the fifth generation or above, performed at a common grave site. During the Choson Dynasty, the lineage commonly possessed land, grave sites, and buildings. Croplands were allocated to support the ancestral ceremonies. The lineage also performed other functions: the aid of poor or distressed lineage members, the education of children at schools maintained by the p'a, and the supervision of the behavior of younger lineage members. Because most villagers were members of a common lineage during the Choson Dynasty, the p'a performed many of the social services on the local level that are now provided by public schools, police, and social welfare agencies.
The fourth and most inclusive kinship organization was the clan, or, more accurately, the tongjok (surname origin group). Among ordinary South Koreans, this was commonly known as the pongwan, or "clan seat." Members of the same tongjok shared both a surname and origins in the generally remote past. Unlike members of the smaller kinship groups, however, they often lacked strong feelings of solidarity. Important tongjok include the Chonju Yi, who originated in Chonju in North Cholla Province and claimed as their progenitor the founder of the Choson Dynasty, Yi Song-gye; and the Kimhae Kim, who originated in Kimhae in South Kyongsang Province and claimed as their common ancestor either the founder of the ancient kingdom of Kaya or one of the kings of the Silla Dynasty (A.D. 668-935).
Approximately 249 surnames were used by South Koreans in the late 1980s. The most common were Kim (about 22 percent of the population), Li or Yi (15 percent of the population), Pak or Park (8.5 percent), Ch'oe (4.8 percent), and Chong (4.2 percent). There are, however, about 150 surname origin groups bearing the name Kim, 95 with the name Yi, 35 with the name Pak, 40 with the name Ch'oe, and 27 with the name Chong.
In many if not most cases, the real function of the tongjok was to define groups of permissible marriage partners. Because of the strict rule of exogamy, people from the same tongjok were not permitted to marry, even though their closest common ancestors in many cases might have lived centuries ago. This prohibition, which originated during the Choson Dynasty, had legal sanction in present-day South Korea. An amendment to the marriage law proposed by women's and other groups in early 1990 would have changed this situation by prohibiting marriages only between persons who had a common ancestor five generations or less back. However, the amendment, was strongly opposed by conservative Confucian groups, which viewed the exogamy law as a crystallization of traditional Korean values. Among older South Koreans, it is still commonly thought that only uncivilized people marry within their clan group.

JAPANESE FAMILY

The family in Japan is called “kazoku” in Japanese. It is basically composed of a couple as is the family in other societies. The Japanese family is based on the line of descent and adoption. Ancestors and offspring are linked together by an idea of family genealogy, or keizu, which does not mean relationships based on mere blood inheritance and succession, but rather a bond of relationship inherent in the maintenance and continuance of the family as an institution.
In any given period of history, all family members have been expected to contribute to the perpetuation of the family, which is held to be the highest duty of the member.[1]

The family in Japan is called “kazoku” in Japanese. It is basically composed of a couple as is the family in other societies. The Japanese family is based on the line of descent and adoption. Ancestors and offspring are linked together by an idea of family genealogy, or keizu, which does not mean relationships based on mere blood inheritance and succession, but rather a bond of relationship inherent in the maintenance and continuance of the family as an institution.
In any given period of history, all family members have been expected to contribute to the perpetuation of the family, which is held to be the highest duty of the member.[1]

source: http://en.wikipedia.org/wiki/Japanese_family